Tampilkan postingan dengan label #padi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #padi. Tampilkan semua postingan

Kamis, November 05, 2015

Cara Pengendalian Penyakit Blas pada Tanaman Padi

Gambar 1. Gejala penyakit blas daun (a), dan blas leher (b)
Penyakit blas merupakan penyakit yang menyerang tanaman padi yang disebabkan oleh jamur Pyricularia grisea. Awalnya, penyakit ini berkembang di daerah pertanaman padi gogo. Tetapi, akhir-akhir ini penyebaran penyakit blas tersebut sudah sampai hingga lahan sawah irigasi. Banyak sentra produksi padi Jawa Barat seperti di Karawang, Subang, dan Indramayu; Jawa Tengah di Pemalang, Pati, Sragen, dan Banyumas; dan Jawa Timur di Lamongan, Jombang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang, yang berkembang di pertanaman padi sawah. 
Jamur Pyricularia grisea dapat menginfeksi pada semua fase pertumbuhan tanaman padi mulai dari persemaian sampai menjelang panen. Pada fase bibit dan pertumbuhan vegetatif tanaman padi, Pyricularia grisea menginfeksi bagian daun dan menimbulkan gejala penyakit yang berupa bercak coklat berbentuk belah ketupat yang disebut blas daun. Pada fase pertumbuhan generatif tanaman padi, gejala penyakit blas berkembang pada tangkai/leher malai disebut blas leher. Perkembangan parah penyakit blas leher infeksinya dapat mencapai bagian gabah dan patogennya dapat terbawa gabah sebagai patogen tular benih (seed borne).
Penyakit blas leher juga sering disebut busuk leher, patah leher, tekek (jawa Tengah), kecekik (Jawa Barat). Penyakit blas juga dapat berkembang pada tanaman selain padi seperti gandum, sorgum dan spesies rumput-rumputan. Pada lingkungan yang kondusif, blas daun berkembang pesat dan kadang-kadang dapat menyebabkan kematian tanaman. Penyakit blas leher dapat menurunkan hasil secara nyata karena menyebabkan leher malai mengalami busuk atau patah sehingga proses pengisian malai terganggu dan banyak terbentuk bulir padi hampa. Gangguan penyakit blas leher di daerah endemis sering menyebabkan tanaman padi menjadi puso, seperti yang terjadi di Lampung dan Sumatera Selatan.
Biologi dan Ekologi Penyakit Blas
Jamur Pyricularia grisea mempunyai banyak ras, yang mudah berubah dan membentuk ras baru dengan cepat. Pada kondisi lingkungan yang mendukung, satu siklus penyakit blas membutuhkan waktu kurang lebih 1 mingghu, yaitu dimulai ketika spora jamur menginfeksi dan menghasilkan suatu bercak pada tanaman padi dan berakhir ketika jamur bersporulasi (menghasilkan spora baru) yang siap disebarkan ke udara. Selanjutnya dari satu bercak dapat menghasilkan ratusan sampai ribuan spora dalam satu malam dan dapat terus menghasilkan spora selama lebih dari 20 hari. Penyakit blas lebih menyukai kondisi periode embun yang panjang, kelembaban yang tinggi dan temperatur malam hari sekitar 22–25 OC.
Faktor lain yang mendukung perkembangan penyakit blas adalah pemakaian pupuk nitrogen yang berlebihan, tanah dalam kondisi aerobik dan stres kekeringan. Pengaruh nitrogen terhadap sel epidermis menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding sel dan menurunnya kadar unsur silika (Si), sehingga jamur lebih mudah melakukan penetrasi. Pemberian Si cenderung membantu kekerasan dan ketegakan daun. Sumber inokulum primer penyakit blas di lapang adalah jerami. Di daerah tropis sumber inokulum selalu ada spanjang tahun karena adanya spora di udara dan tanaman inang alternatif selain padi.
Teknologi Pengendalian Penyakit Blas
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit blas antara lain tanah, pengairan, kelembaban, suhu, pupuk dan ketahanan varietas. Faktor-faktor tersebut merupakan komponen epidemi penyakit yang dapat dikelola untuk tujuan pengendalian penyakit blas. Upaya untuk mengendalikan penyakit blas melalui pengelolaan komponen epidemi secara terpadu mempunyai peluang keberhasilan tinggi.
Pengendalian penyakit blas dengan teknik budidaya dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain sebagai berikut.
1.    Penanaman Benih Sehat
Jamur penyebab penyakit blas dapat ditularkan melalui benih, sehingga pengendalian dapat lebih efektif bila dilakukan sedini mungkin. Pertanaman yang terinfeksi penyakit blas sangat tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai benih. Ini perlu ditekankan sebagai syarat untuk kelulusan uji sertifikasi benih. Perlu dilakukan perlakuan/pengobatan benih dengan fungisida sistemik seperti trisiklazole dengan dosis formulasi 3-5 g/kilogram benih. Pengobatan benih dapat dilakukan dengan cara perendaman benih (soaking) atau pelapisan benih (coating) dengan fungisida anjuran.
2.    Perendaman (Soaking) benih
Benih direndam dalam larutan fungisida selama 24 jam, dan selama periode perendaman, larutan yang digunakan diaduk merata tiap 6 jam. Perbandingan berat biji dan volume air adalah 1:2 (1 kg benih direndam dalam 2 liter air larutan fungisida). Benih yang telah direndam dikering anginkan dalam suhu kamar diatas kertas koran dan dibiarkan sampai saatnya gabah tersebut siap untuk disemaikan. Perendaman benih padi sawah dalam larutan fungisida dilakukan sebelum pemeraman.
3.    Cara pelapisan (Coating) benih
Pertama-tama benih direndam dalam air selama beberapa jam, kemudian ditiriskan sampai air tidak menetes lagi. Fungisida dengan dosis tertentu dicampur dengan 1 kg benih basah dan dikocok sampai merata, kemudian gabah dikering anginkan dengan cara yang sama dengan metode perendaman, selanjutnya benih siap disemaikan.
4.   Cara tanam
Jarak tanam yang tidak terlalu rapat atau sistem legowo sangat dianjurkan untuk membuat kondisi lingkungan tidak menguntungkan bagi patogen penyebab penyakit. Kemudian didukung dengan cara pengairan berselang (intermiten). Sistem tersebut akan mengurangi kelembaban sekitar kanopi tanaman, mengurangi terjadinya embun dan air gutasi serta menghidarkan terjadinya gesekan antar daun. Petanaman selalu rapat akan menciptakan kondisi lingkungan terutama suhu, kelembaban, dan aerasi yang lebih menguntungkan bagi perkembangan penyakit. Di samping itu pada pertanaman yang rapat akan mepermudah terjadinya infeksi dan penularan dari satu tanaman ke tanaman lain.
4.    Pemupukan
Pupuk nitrogen berkorelasi positif dengan keparahan penyakit blas. Artinya pertanaman yang dipupuk nitrogen dengan dosis tinggi menyebabkan tanaman menjadi lebih rentan dan keparahan penyakit lebih tinggi. Sebaliknya dengan pupuk kalium menyebabkan tanaman menjadi lebih tahan terhadap penyakit blas. Oleh karena itu, disarankan menggunakan pupuk nitrogen dan kalium secara berimbang.
Upaya Pencegahan
Upaya pencegahan penyakit blas pada tanaman padi dapat dilakukan dengan berbagai cara, yakni adalah sebagai berikut.
1.      Sanitasi Lingkungan
Sanitasi dengan menjaga kebersihan lingkungan sawah dari gulma yang mungkin menjadi inang alternatif dan membersihkan sisa-sisa tanaman yang terinfeksi merupakan usaha yang sangat dianjurkan mengingat patogen dapat bertahan pada inang alternatif dan sisa-sisa tanaman.
2.      Pemberian kompos jerami
Pemberian bahan organik berupa jerami sisa panen untuk penyehatan lahan harus dikomposkan lebih dulu. Pengkomposan jerami dapat menyebabkan miselia dan spora jamur mati, karena naiknya suhu selama proses dekomposisi.

Kiat-Kiat Pengendalian Penyakit Blas
Adapun kiat-kiat pengendalian penyakit Blas antara lain sebagai berikut.
1.  Gunakan varietas tahan sesuai dengan sebaran ras yang ada di daerah setempat 
2.  Gunakan benih sehat.
3.  Hidarkan penggunaan pupuk nitrogen diatas dosis anjuran.
4.  Hindarkan tanam padi dengan varietas yang sama terus menerus sepanjang tahun.
5.  Sanitasi lingkungan harus intensif karena inang alternatif patogen dapat berupa rerumputan
6.  Hindari tanam padi terlambat dari tanaman petani di sekitarnya
            7. Minimalisasi penggunaan insektisida
Sumber:

Isolasi Cendawan Entomopatogen dari Tubuh Wereng Hijau



Keberadaan hama wereng hijau sebagai vektor penyakit tungro sampai saat ini masih dikendalikan petani dengan cara menggunakan insektisida. Padahal, penggunaan insektisida bukanlah solusi yang tepat karena lambat laun justru akan menimbulkan masalah baru seperti terjadinya resistensi dan resurgensi wereng hijau, terbunuhnya musuh alami, serta terjadinya pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan alternatif pengendalian wereng hijau secara terpadu dan ramah lingkungan. Selain penggunaan varietas tahan, pemanfaatan cendawan entomopatogen juga merupakan salah satu komponen pengendalian terpadu yang mempunyai prospek cukup baik dalam mengendalikan wereng hijau.
Cendawan entomopatogen merupakan cendawan yang sifatnya patogenik (penyebab penyakit) pada serangga/hama. Pengendalian hayati dengan memanfaatkan cendawan yang patogenik serangga (entomopatogen) berpotensi untuk dikembangkan dalam menekan populasi wereng hijau sehingga secara otomatis juga dapat menekan intensitas penyakit tungro. Menurut Trizelia (2005), Keuntungan penggunaan cendawan entomopatogenik antara lain relatif aman, kapasitas reproduksi tinggi, siklus hidup pendek, bersifat selektif, kompatibel dengan pengendalian lainnya, relatif murah diproduksi dan kemungkinan menimbulkan resistensi amat kecil atau lambat, dan dapat membentuk spora yang dapat bertahan lama, bahkan dalam kondisi yang tidak menguntungkan sekalipun. Selain itu penggunaan cendawan entomopatogen yang terdapat secara alami merupakan hal yang utama dalam program PHT.
Cendawan entomopatogen dapat diperoleh dengan mengambil sampel serangga wereng hijau yang terserang patogen dengan mengamati semua rumpun tanaman padi kemudian melakukan isolasi serta identifikasi patogen (cendawan) tersebut dari tubuh wereng hijau yang terinfeksi. Untuk pengambilan sampel di hamparan padi yang luas digunakan net jaring dengan menyapukan net pada hamparan padi sebanyak sepuluh kali ayunan ganda per unit contoh, kemudian serangga hama wereng hijau yang tertangkap diperiksa untuk mendapatkan wereng hijau yang terinfeksi cendawan. Jika ditemukan adanya miselium cendawan yang tumbuh menyelimuti tubuh wereng hijau maka besar kemungkinan wereng hijau tersebut terinfeksi cendawan entomopatogen. Untuk membuktikan jenis cendawan apa yang menyerang wereng hijau maka dilakukan isolasi, inokulasi, reisolasi dan identifikasi wereng hijau.
Isolasi dilakukan pada media PDA, namun sebelum dilakukan isolasi wereng hijau yang mati didesinfeksi dengan alkohol 70% dan NaOCl masing-masing selama 3 menit kemudian dengan air steril 3 kali dan dikeringkan dengan kertas absorben steril kemudian ditanam ke media PDA. Cendawan yang tumbuh di media PDA tersebut kemudian dimurnikan dan diperbanyak lalu diidentifikasi di bawah mikroskop. Cendawan murni (tanpa kontaminan) tersebut kemudian diinokulasikan pada wereng hijau sehat yang telah disiapkan sebelumnya, sekitar 10 nimfa instar ke empat dan 10 imago wereng hijau yang berumur sama dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berukuran besar, kemudian di tetesi suspensi spora cendawan 2 cc selama 15 menit. Selanjutnya nimfa dan imago wereng hijau tersebut dilepaskan pada tanaman padi yang berada dalam kurungan kasa. Kemudian dilakukan pengamatan wereng hijau yang mati (dihitung persentase mortalitas wereng hijau) setiap 24 jam dimulai dari saat inokulasi sampai 2 minggu. Wereng hijau yang mati diperiksa di bawah mikroskop, apakah kematiannya disebabkan oleh isolat cendawan patogen atau penyebab lain. Jika bangkai wereng hijau tersebut ditumbuhi miselium cendawan maka kemungkinan besar penyebab kematiannya adalah cendawan entomopatogen. Untuk membuktikannya lebih lanjut maka wereng hijau yang mati tersebut kemudian direisolasi (diletakkan kembali) pada media PDA. Cendawan yang tumbuh pada media PDA tersebut kemudian dimurnikan dan diperbanyak lalu diidentifikasi untuk membuktikan apakah morfologi cendawan sama pada hasil isolasi sebelumnya. Jika sama, maka bisa dipastikan bahwa cendawan tersebut bersifat patogenik terhadap wereng hijau yang kemudian bisa diuji lebih lanjut dalam skala besar untuk menekan populasi wereng hijau. Menurut Jacques (1995), Patogen serangga (entomopatogen) dapat berfungsi sebagai insektisida hayati ditentukan oleh tingkat efektifitas dalam menurunkan populasi hama, keamanan dan kekhususan inang dan keberhasilan dalam pemasaran dan perhitungan keuntungan.


Sumber: 
http://bbpadi.litbang.pertanian.go.id/index.php/berita/info-teknologi/content/238-isolasi-cendawan-entomopatogen-dari-tubuh-wereng-hijau

Oleh : Naili Tri Hidayati (14/364153/PN/13564)