Kamis, November 05, 2015

Smart-Integrated Farming System, Sistem Pembangunan Pertanian Menuju Indonesia Negeri Mandiri Pangan

Indonesia, sebagai negara tropis dikaruniai keanekaragaman hayati yang tinggi serta energi matahari dan curah hujan yang berlimpah sepanjang tahun. Kondisi alam tropis tersebut memungkinkan pertanian di Indonesia untuk berproduksi sepanjang tahun dengan komoditas yang beragam serta menggunakan masukan energi yang lebih rendah (less energy input) dibandingkan dengan pertanian negara temperata..
Realita petani Indonesia saat ini dipenuhi dengan ironi dan ketidak berdayaan. Petani tidak lagi memegang peran sebagai penghasil dan pencipta dalam setiap tahapan kegiatan bertani, namun justru dimanfaatkan tak lebih hanya sebagai pekerja konsumen. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa kegiatan dalam bertani justru diatur oleh pihak di luar dirinya, seperti pemerintah, pasar ataupun perusahaan swasta. Contoh nyata, saat ini di daerah pedesaan yang para warganya masih mayoritas bekerja sebagai petani, pada rumah-rumah mereka, pagar-pagar pinggir jalan dan bahkan di pohon-pohon pinggir sawah dipenuhi oleh berbagai iklan, semacam iklan pupuk, pestisida, insektisida dan sejenisnya. Mereka dijadikan target pasar yang polos dan empuk oleh para konglomerasi industri penunjang pertanian. Secara tak langsung para pihak tersebut mencoba menanamkan pola pikir bahwa bertani adalah dengan pupuk, pestisida dan insektisida kimia yang semuanya perlu dibeli dari perusahaan-perusahaan besar. Tampaknya inilah yang mengakibatkan melonjaknya biaya produksi pertanian dan pada saat yang bersamaan menurunkan kualitas lahan secara terus menerus, dan dalam jangka panjang dapat mengakibatkan penurunan produktivitas lahan dan membuat kondisi para petani semakin sengsara yang pada akhirnya dalam cakupan lebih besar negara-lah yang merugi karena harus membuat kebijakan untuk mengimpor beberapa komoditi tanaman produksi pertanian.
Kondisi ketidakberdayaan tersebut merupakan ironi yang sangat memprihatinkan, di mana kenyataan seperti ini rasanya telah dipandang sebagai hal yang lumrah, sehingga berdampak terhadap kurangnya perhatian baik dari pemerintah, masyarakat ataupun dari petani sendiri untuk memperbaiki kondisi sekarang ini. Kenyataan pahit inilah yang sebenarnya mengakibatkan generasi muda mulai enggan berkecimpung dalam dunia pertanian, bahkan anak dari keluarga petani pun kini enggan meneruskan usaha tani orang tua nya dan justru lebih memilih bekerja di luar bidang pertanian. Ironi lain yang juga memprihatinkan, jika bukan generasi muda sebagai generasi penerus, maka siapa lagi yang dapat memperbaiki kondisi pertanian Indonesia saat ini. Berdasarkan hal tersebut, maka hal penting yang perlu diperhatikan adalah merubah pola pikir masyarakat mengenai potret petani Indonesia, merubah pola pikir para petani bahwa bertani dan meningkatkan hasil pertanian tidak harus menggunakan pupuk kimia produksi perusahaan, serta membangun sikap mental kemandirian sebagai keseharian dalam bertani.
Berangkat dari isu perubahan iklim global, perubahan iklim merupakan masalah yang sarat dengan argumentasi ilmiah karena merupakan hasil kajian dari sekitar 2500 peneliti dan pakar perubahan iklim di seluruh dunia yang tergabung dalam Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC) yang merupakan badan ilmiah yang tugas utamanya melakukan kajian hasil riset yang terkait dengan perubahan iklim di seluruh dunia. Menurut para ahli, bila konsentrasi CO2 yang ada di atmosfir melebihi 450 ppm, maka akan terjadi kenaikan suhu udara lebih dari 2°C, yaitu ambang batas kenaikan temperatur di atmosfir yang memungkinkan mahluk hidup di bumi masih dapat bertahan hidup dengan baik dan aman. Kenaikan di atas angka tersebut dianggap akan menimbulkan bencana kehidupan di atas muka bumi. Menanggapi kondisi tersebut, Indonesia kini mulai mengambil keterlibatan dan peran dalam negosiasi perubahan iklim, diantaranya adalah negosiasi yang berkaitan dengan REDD dan LULUCF.
Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD) meskipun pada dasarnya terfokus pada isu deforestasi dan degradasi hutan, namun REDD juga tidak terlepas dari isu terkait pertanian. Dalam text negosiasi tentang REDD, disebutkan bahwa pertanian adalah salah satu penyebab deforestasi. Ini dipacu oleh informasi mengenai perkebunan kelapa sawit di Indonesia dilakukan dengan membuka lahan berhutan. Karena itu, kegiatan pertanian dianggap berpengaruh terhadap emisi dari sektor kehutanan. Dari sudut pandang keamanan pangan, peranan pertanian sangat vital bagi pembangunan sosial dan ekonomi pedesaan. Beberapa hasil riset menunjukkan bahwa perubahan iklim telah berpengaruh nyata terhadap produktivitas pertanian. Sebaliknya, pertanian juga bisa merupakan salah satu sumber emisi dan sekaligus penyerap dan peyimpan karbon. Dalam hal ini, maka terdapat kaitan antara upaya adaptasi dan mitigasi yang dilakukan sektor pertanian dengan perubahan iklim. Hasil riset selanjutnya menyebutkan pentingnya melakukan koordinasi antara pertanian dan kehutanan.
LULUCF (agriculture and forestry combined) menurut IPCC (2007) memberikan sumbangan emisi sebesar 31%, dan ini lebih besar dibandingkan energy and fossil fuel supply yang hanya 26%. Emisi dari LULUCF ini sebagian besar disumbangkan oleh negara-negara berkembang yang masih memerlukan pembukaan dan konversi hutan untuk pembangunan, sarana dan prasarana, pemukiman, perluasan lahan pertanian, dll. Tidak seperti kegiatan ekonomi lainnya seperti sektor transportasi dan energi yang hanya mengeluarkan emisi, maka kegiatan LULUCF dapat mengeluarkan karbon dan juga menyerap karbon. Atas dasar tersebut, LULUCF di Indonesia harus dapat diimplementasikan dalam bentuk dan intensitas yang berbeda dengan mempertimbangkan porsi tutupan hutan yang ada dan potensi pembangunan kebijakan yang terkait LULUCF harus tetap menjadi prioritas pemerintah agar diarahkan guna mencapai pembangunan yang rendah karbon.
Berdasarkan pada negosiasi kedua isu tersebut terutama mengenai isu pertanian, maka dapat diprediksikan ke depannya untuk arah gerak pembangunan sektor pertanian di Indonesia akan menuju konsep “Climate-smart agriculture”, sektor pertanian yang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk menjaga keamanan pangan di satu sisi, namun juga bisa melakukan mitigasi dan adapatasi di sisi lain untuk menekan dampak negatif perubahan ikim dalam kegiatan pertanian. Untuk saat ini salah satu langkah yang telah diambil pemerintah Indonesia untuk membawa pertanian Indonesia ke arah sana adalah dengan bekerja sama dengan instansi atau institut pendidikan untuk mempersiapkan tenaga ahli di sektor pertanian yang tangguh serta memiliki kompetensi teknis yang unggul untuk berkontribusi pada pembangunan pertanian Indonesia. Sumber daya manusia yang di bentuk akan mampu menjawab isu isu nasional yang terkait dengan teknik produksi biomasa pertanian yaitu peningkatan produktivitas, pencapaian kualitas, keandalan praktis, dan keberlanjutan.

GAGASAN
Berdasarkan informasi dan data yang telah dipaparkan sebelumnya, secara tak langsung memunculkan tantangan tersendiri dalam usaha untuk membangun sistem pertanian di Indonesia, yaitu untuk mengembangkan sebuah sistem pertanian terintegrasi yang dapat mengoptimalkan potensi pertanian Indonesia dengan berbasis kepada lingkungan dan pembangunan rendah karbon agar tercapai keselarasan dengan arah kebijakan pembangunan pemerintah, sehingga kesejahteraan masyarakat umum terutama petani dapat diwujudkan.

Pusat Riset Varietas Tanaman
Pendirian pusat riset varietas tanaman ini dilakukan di setiap daerah atau paling tidak pada setiap provinsi, dengan tujuan untuk melakukan pemetaan ke daerah masing – masing mengenai potensi daerah, terutama mengenai varietas tanaman yang cocok atau mampu tumbuh pada daerah tersebut secara optimal, sehingga selanjutnya dapat dikembangkan sebagai komoditi unggulan. Selain itu, pusat riset ini juga berfungsi sebagai tempat penyuluhan pertanian untuk mengembangkan pola tani yang sesuai dengan kondisi lokal di setiap daerah. Diharapkan dengan didirikannya pusat riset ini dapat menjembatani jenjang pengetahuan dan ilmu praktik antara dunia pendidikan dengan dunia pertanian sebagai lembaga pengkaji teoritis dan pelaku usaha.
Pada perkembangan berikutnya, pusat riset ini dapat difungsikan sebagai pusat riset untuk melakukan rekayasa terhadap tanaman, dalam usaha optimasi proses metabolik tanaman untuk menghasilkan senyawa metabolit tertentu. Sebagai gambaran, riset yang dilakukan adalah merekayasa proses fotosintesis tanaman untuk membuat biofuel. Rekayasa yang dilakukan adalah dengan membuat tanaman hitam yang mampu menyerap semua sinar matahari yang masuk dengan panjang gelombang cahaya yang berbeda – beda untuk melakukan fotosintesis. Tanaman sekarang hanya mampu menggunakan satu panjang gelombang tertentu untuk melakukan fotosintesa. Tanaman yang direkayasa untuk memproduksi biofuel bahkan mungkin dapat dibuat agar memiliki daun yang lebih kecil sehingga mengurangi energi yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan, atau bahkan dapat dibuat agar tidak lagi menyimpan energi sebagai gula tetapi mengubahnya secara langsung menjadi molekul hidrokarbon untuk digunakan manusia sebagai bahan bakar.

Smart-Integrated Farming System
Sistem pertanian yang mengintegrasikan beberapa sektor (pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan) yang dikelola secara terpadu dan berorientasi ekologis, sehingga diperoleh peningkatan nilai ekonomi, tingkat efisiensi dan produktifitas yang tinggi.

Integrated
Konsep pada sistem pertanian ini adalah siklus materi, di mana materi yang merupakan limbah atau waste dari suatu sektor digunakan kembali sebagai bahan dasar pada sektor lainnya. Contoh sederhananya adalah limbah dari sektor peternakan yang digunakan kembali sebagai pupuk untuk digunakan pada sektor pertanian. Adapun timbal balik dari sektor pertanian adalah misalkan melalui jerami yang digunakan untuk pakan ternak. Intinya, seluruh materi pada sektor – sektor tersebut terus bersiklus dalam sistem, muncul sebagai waste pada suatu sektor lalu dialihkan dan digunakan sebagai bahan dasar pada sektor lainnya. Dari segi lingkungan, sistem ini memiliki konsep zero waste, konsep yang menekan jumlah produksi sampah, yang tentu memiliki dampak baik terhadap lingkungan. Adapun dari segi ekonomi, sistem ini memiliki konsep cost reduction, yaitu konsep di mana modal/biaya menjadi lebih rendah dari pendapatan. Hal ini dapat tercapai karena dengan digunakannya kembali limbah sebagai bahan dasar pada sektor lain, dapat mengurangi biaya untuk memenuhi kebutuhan sektor tersebut tanpa mengurangi pendapatan yang akan diperoleh.
Pada perkembangan berikutnya, setelah sistem pertanian ini dapat berjalan secara mandiri, maka pertanian dapat difungsikan pula sebagai kawasan eduwisata, di mana masyarakat yang berkunjung akan diberikan wawasan mengenai sistem integrated farming, termasuk di dalamnya teknik bertani, beternak dan hal lainnya yang tercakup. Sasaran utama dengan difungsikannya sebagai kawasan eduwisata adalah untuk mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai potensi pertanian Indonesia, termasuk mengenai potensi daerah masing – masing di bidang pertanian, serta mensosialisasikan pula mengenai sistem integrated farming yang berbasis lingkungan dan berbagai inovasi seputar pertanian ataupun bioresource, seperti misalnya dijelaskan mengenai biofuel ataupun biogas. Contoh sederhananya, di kawasan pertanian eduwisata ini dibuat pula kawasan kuliner yang menggunakan biogas sebagai sumber gas untuk memasak. Hal ini bertujuan untuk mensosialisasikan bahwa dengan menggunakan biogas, masakan tidak akan terpengaruhi dan tetap aman.
Untuk mendukung pertanian ini, dibentuk pula organisasi atau istilah sederhananya sebuah kelompok tani yang bertujuan untuk menghimpun dan memfasilitasi para petani yang ingin mempelajari integrated farming management.

Untuk mengoptimalkan keberlangsungan seluruh proses pertanian, kawasan pertanian ini dibangun berdekatan dengan pusat riset varietas tanaman agar koordinasi antar kedua sektor ini dapat berlangsung lebih mudah. Kemudian sebagai tambahan, pada kawasan pertanian ini ditambahkan pula supporting sektor yang fokus pada pengolahan hasil produksi pertanian. Dengan dibangunnya industri olahan pada kawasan yang sama, akan memperkecil biaya produksi, terutama pada biaya transport. Sektor ini mengatur pula proses panen, pasca panen dan produksi yang bertujuan untuk menjaga kualitas dari hasil produksi pertanian.

Mengutip artikel : Muhammad Naufal Rizqulloh (Rekayasa Pertanian 2012)

Cara Pengendalian Penyakit Blas pada Tanaman Padi

Gambar 1. Gejala penyakit blas daun (a), dan blas leher (b)
Penyakit blas merupakan penyakit yang menyerang tanaman padi yang disebabkan oleh jamur Pyricularia grisea. Awalnya, penyakit ini berkembang di daerah pertanaman padi gogo. Tetapi, akhir-akhir ini penyebaran penyakit blas tersebut sudah sampai hingga lahan sawah irigasi. Banyak sentra produksi padi Jawa Barat seperti di Karawang, Subang, dan Indramayu; Jawa Tengah di Pemalang, Pati, Sragen, dan Banyumas; dan Jawa Timur di Lamongan, Jombang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang, yang berkembang di pertanaman padi sawah. 
Jamur Pyricularia grisea dapat menginfeksi pada semua fase pertumbuhan tanaman padi mulai dari persemaian sampai menjelang panen. Pada fase bibit dan pertumbuhan vegetatif tanaman padi, Pyricularia grisea menginfeksi bagian daun dan menimbulkan gejala penyakit yang berupa bercak coklat berbentuk belah ketupat yang disebut blas daun. Pada fase pertumbuhan generatif tanaman padi, gejala penyakit blas berkembang pada tangkai/leher malai disebut blas leher. Perkembangan parah penyakit blas leher infeksinya dapat mencapai bagian gabah dan patogennya dapat terbawa gabah sebagai patogen tular benih (seed borne).
Penyakit blas leher juga sering disebut busuk leher, patah leher, tekek (jawa Tengah), kecekik (Jawa Barat). Penyakit blas juga dapat berkembang pada tanaman selain padi seperti gandum, sorgum dan spesies rumput-rumputan. Pada lingkungan yang kondusif, blas daun berkembang pesat dan kadang-kadang dapat menyebabkan kematian tanaman. Penyakit blas leher dapat menurunkan hasil secara nyata karena menyebabkan leher malai mengalami busuk atau patah sehingga proses pengisian malai terganggu dan banyak terbentuk bulir padi hampa. Gangguan penyakit blas leher di daerah endemis sering menyebabkan tanaman padi menjadi puso, seperti yang terjadi di Lampung dan Sumatera Selatan.
Biologi dan Ekologi Penyakit Blas
Jamur Pyricularia grisea mempunyai banyak ras, yang mudah berubah dan membentuk ras baru dengan cepat. Pada kondisi lingkungan yang mendukung, satu siklus penyakit blas membutuhkan waktu kurang lebih 1 mingghu, yaitu dimulai ketika spora jamur menginfeksi dan menghasilkan suatu bercak pada tanaman padi dan berakhir ketika jamur bersporulasi (menghasilkan spora baru) yang siap disebarkan ke udara. Selanjutnya dari satu bercak dapat menghasilkan ratusan sampai ribuan spora dalam satu malam dan dapat terus menghasilkan spora selama lebih dari 20 hari. Penyakit blas lebih menyukai kondisi periode embun yang panjang, kelembaban yang tinggi dan temperatur malam hari sekitar 22–25 OC.
Faktor lain yang mendukung perkembangan penyakit blas adalah pemakaian pupuk nitrogen yang berlebihan, tanah dalam kondisi aerobik dan stres kekeringan. Pengaruh nitrogen terhadap sel epidermis menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding sel dan menurunnya kadar unsur silika (Si), sehingga jamur lebih mudah melakukan penetrasi. Pemberian Si cenderung membantu kekerasan dan ketegakan daun. Sumber inokulum primer penyakit blas di lapang adalah jerami. Di daerah tropis sumber inokulum selalu ada spanjang tahun karena adanya spora di udara dan tanaman inang alternatif selain padi.
Teknologi Pengendalian Penyakit Blas
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit blas antara lain tanah, pengairan, kelembaban, suhu, pupuk dan ketahanan varietas. Faktor-faktor tersebut merupakan komponen epidemi penyakit yang dapat dikelola untuk tujuan pengendalian penyakit blas. Upaya untuk mengendalikan penyakit blas melalui pengelolaan komponen epidemi secara terpadu mempunyai peluang keberhasilan tinggi.
Pengendalian penyakit blas dengan teknik budidaya dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain sebagai berikut.
1.    Penanaman Benih Sehat
Jamur penyebab penyakit blas dapat ditularkan melalui benih, sehingga pengendalian dapat lebih efektif bila dilakukan sedini mungkin. Pertanaman yang terinfeksi penyakit blas sangat tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai benih. Ini perlu ditekankan sebagai syarat untuk kelulusan uji sertifikasi benih. Perlu dilakukan perlakuan/pengobatan benih dengan fungisida sistemik seperti trisiklazole dengan dosis formulasi 3-5 g/kilogram benih. Pengobatan benih dapat dilakukan dengan cara perendaman benih (soaking) atau pelapisan benih (coating) dengan fungisida anjuran.
2.    Perendaman (Soaking) benih
Benih direndam dalam larutan fungisida selama 24 jam, dan selama periode perendaman, larutan yang digunakan diaduk merata tiap 6 jam. Perbandingan berat biji dan volume air adalah 1:2 (1 kg benih direndam dalam 2 liter air larutan fungisida). Benih yang telah direndam dikering anginkan dalam suhu kamar diatas kertas koran dan dibiarkan sampai saatnya gabah tersebut siap untuk disemaikan. Perendaman benih padi sawah dalam larutan fungisida dilakukan sebelum pemeraman.
3.    Cara pelapisan (Coating) benih
Pertama-tama benih direndam dalam air selama beberapa jam, kemudian ditiriskan sampai air tidak menetes lagi. Fungisida dengan dosis tertentu dicampur dengan 1 kg benih basah dan dikocok sampai merata, kemudian gabah dikering anginkan dengan cara yang sama dengan metode perendaman, selanjutnya benih siap disemaikan.
4.   Cara tanam
Jarak tanam yang tidak terlalu rapat atau sistem legowo sangat dianjurkan untuk membuat kondisi lingkungan tidak menguntungkan bagi patogen penyebab penyakit. Kemudian didukung dengan cara pengairan berselang (intermiten). Sistem tersebut akan mengurangi kelembaban sekitar kanopi tanaman, mengurangi terjadinya embun dan air gutasi serta menghidarkan terjadinya gesekan antar daun. Petanaman selalu rapat akan menciptakan kondisi lingkungan terutama suhu, kelembaban, dan aerasi yang lebih menguntungkan bagi perkembangan penyakit. Di samping itu pada pertanaman yang rapat akan mepermudah terjadinya infeksi dan penularan dari satu tanaman ke tanaman lain.
4.    Pemupukan
Pupuk nitrogen berkorelasi positif dengan keparahan penyakit blas. Artinya pertanaman yang dipupuk nitrogen dengan dosis tinggi menyebabkan tanaman menjadi lebih rentan dan keparahan penyakit lebih tinggi. Sebaliknya dengan pupuk kalium menyebabkan tanaman menjadi lebih tahan terhadap penyakit blas. Oleh karena itu, disarankan menggunakan pupuk nitrogen dan kalium secara berimbang.
Upaya Pencegahan
Upaya pencegahan penyakit blas pada tanaman padi dapat dilakukan dengan berbagai cara, yakni adalah sebagai berikut.
1.      Sanitasi Lingkungan
Sanitasi dengan menjaga kebersihan lingkungan sawah dari gulma yang mungkin menjadi inang alternatif dan membersihkan sisa-sisa tanaman yang terinfeksi merupakan usaha yang sangat dianjurkan mengingat patogen dapat bertahan pada inang alternatif dan sisa-sisa tanaman.
2.      Pemberian kompos jerami
Pemberian bahan organik berupa jerami sisa panen untuk penyehatan lahan harus dikomposkan lebih dulu. Pengkomposan jerami dapat menyebabkan miselia dan spora jamur mati, karena naiknya suhu selama proses dekomposisi.

Kiat-Kiat Pengendalian Penyakit Blas
Adapun kiat-kiat pengendalian penyakit Blas antara lain sebagai berikut.
1.  Gunakan varietas tahan sesuai dengan sebaran ras yang ada di daerah setempat 
2.  Gunakan benih sehat.
3.  Hidarkan penggunaan pupuk nitrogen diatas dosis anjuran.
4.  Hindarkan tanam padi dengan varietas yang sama terus menerus sepanjang tahun.
5.  Sanitasi lingkungan harus intensif karena inang alternatif patogen dapat berupa rerumputan
6.  Hindari tanam padi terlambat dari tanaman petani di sekitarnya
            7. Minimalisasi penggunaan insektisida
Sumber:

Isolasi Cendawan Entomopatogen dari Tubuh Wereng Hijau



Keberadaan hama wereng hijau sebagai vektor penyakit tungro sampai saat ini masih dikendalikan petani dengan cara menggunakan insektisida. Padahal, penggunaan insektisida bukanlah solusi yang tepat karena lambat laun justru akan menimbulkan masalah baru seperti terjadinya resistensi dan resurgensi wereng hijau, terbunuhnya musuh alami, serta terjadinya pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan alternatif pengendalian wereng hijau secara terpadu dan ramah lingkungan. Selain penggunaan varietas tahan, pemanfaatan cendawan entomopatogen juga merupakan salah satu komponen pengendalian terpadu yang mempunyai prospek cukup baik dalam mengendalikan wereng hijau.
Cendawan entomopatogen merupakan cendawan yang sifatnya patogenik (penyebab penyakit) pada serangga/hama. Pengendalian hayati dengan memanfaatkan cendawan yang patogenik serangga (entomopatogen) berpotensi untuk dikembangkan dalam menekan populasi wereng hijau sehingga secara otomatis juga dapat menekan intensitas penyakit tungro. Menurut Trizelia (2005), Keuntungan penggunaan cendawan entomopatogenik antara lain relatif aman, kapasitas reproduksi tinggi, siklus hidup pendek, bersifat selektif, kompatibel dengan pengendalian lainnya, relatif murah diproduksi dan kemungkinan menimbulkan resistensi amat kecil atau lambat, dan dapat membentuk spora yang dapat bertahan lama, bahkan dalam kondisi yang tidak menguntungkan sekalipun. Selain itu penggunaan cendawan entomopatogen yang terdapat secara alami merupakan hal yang utama dalam program PHT.
Cendawan entomopatogen dapat diperoleh dengan mengambil sampel serangga wereng hijau yang terserang patogen dengan mengamati semua rumpun tanaman padi kemudian melakukan isolasi serta identifikasi patogen (cendawan) tersebut dari tubuh wereng hijau yang terinfeksi. Untuk pengambilan sampel di hamparan padi yang luas digunakan net jaring dengan menyapukan net pada hamparan padi sebanyak sepuluh kali ayunan ganda per unit contoh, kemudian serangga hama wereng hijau yang tertangkap diperiksa untuk mendapatkan wereng hijau yang terinfeksi cendawan. Jika ditemukan adanya miselium cendawan yang tumbuh menyelimuti tubuh wereng hijau maka besar kemungkinan wereng hijau tersebut terinfeksi cendawan entomopatogen. Untuk membuktikan jenis cendawan apa yang menyerang wereng hijau maka dilakukan isolasi, inokulasi, reisolasi dan identifikasi wereng hijau.
Isolasi dilakukan pada media PDA, namun sebelum dilakukan isolasi wereng hijau yang mati didesinfeksi dengan alkohol 70% dan NaOCl masing-masing selama 3 menit kemudian dengan air steril 3 kali dan dikeringkan dengan kertas absorben steril kemudian ditanam ke media PDA. Cendawan yang tumbuh di media PDA tersebut kemudian dimurnikan dan diperbanyak lalu diidentifikasi di bawah mikroskop. Cendawan murni (tanpa kontaminan) tersebut kemudian diinokulasikan pada wereng hijau sehat yang telah disiapkan sebelumnya, sekitar 10 nimfa instar ke empat dan 10 imago wereng hijau yang berumur sama dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berukuran besar, kemudian di tetesi suspensi spora cendawan 2 cc selama 15 menit. Selanjutnya nimfa dan imago wereng hijau tersebut dilepaskan pada tanaman padi yang berada dalam kurungan kasa. Kemudian dilakukan pengamatan wereng hijau yang mati (dihitung persentase mortalitas wereng hijau) setiap 24 jam dimulai dari saat inokulasi sampai 2 minggu. Wereng hijau yang mati diperiksa di bawah mikroskop, apakah kematiannya disebabkan oleh isolat cendawan patogen atau penyebab lain. Jika bangkai wereng hijau tersebut ditumbuhi miselium cendawan maka kemungkinan besar penyebab kematiannya adalah cendawan entomopatogen. Untuk membuktikannya lebih lanjut maka wereng hijau yang mati tersebut kemudian direisolasi (diletakkan kembali) pada media PDA. Cendawan yang tumbuh pada media PDA tersebut kemudian dimurnikan dan diperbanyak lalu diidentifikasi untuk membuktikan apakah morfologi cendawan sama pada hasil isolasi sebelumnya. Jika sama, maka bisa dipastikan bahwa cendawan tersebut bersifat patogenik terhadap wereng hijau yang kemudian bisa diuji lebih lanjut dalam skala besar untuk menekan populasi wereng hijau. Menurut Jacques (1995), Patogen serangga (entomopatogen) dapat berfungsi sebagai insektisida hayati ditentukan oleh tingkat efektifitas dalam menurunkan populasi hama, keamanan dan kekhususan inang dan keberhasilan dalam pemasaran dan perhitungan keuntungan.


Sumber: 
http://bbpadi.litbang.pertanian.go.id/index.php/berita/info-teknologi/content/238-isolasi-cendawan-entomopatogen-dari-tubuh-wereng-hijau

Oleh : Naili Tri Hidayati (14/364153/PN/13564)

Budidaya Jagung Dengan Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu


Pendekatan Pengelolaan tanaman Terpadu (PTT) pada budidaya jagung meliputi penggunaan varietas unggul baru (VUB), pemilihan benih bermutu, penyiapan lahan dan tanaman, serta pemupukan. Penggunaan varietas unggul baru mempunyai peranan penting dalam peningkatan produktivitas. Pemilihan varietas disesuaikan dengan deskripsi varietas (potensi hasil), umur tanaman, warna biji, kondisi setempat (tanah dan sumber daya lainnya), keinginan petani, dan permintaan pasar. Benih yang bermutu mempunyai daya tumbuh > 95% dan dapat memenuhi populasi 66.000-80.000 tanaman/ha. Benih tumbuh serentak 4-5 hari setelah tanam (HST) pada lingkungan yang normal. Perlakuan benih dengan bahan aktif kimia anjuran (metalaksil, dimethomorp, fenamidan + propamokarb hidroklori) diperlukan untuk mencegah penularan penyakit bulai. Dalam budidaya jagung tidak dianjurkan menyulam karena pengisian biji dari tanaman sulaman tidak optimal.
Pada lahan kering, penyiapan lahan meliputi olah tanah sempurna (OTS). Tanah diolah dengan bajak, ditarik traktor atau sapi, atau dapat digunakan cangkul, kemudian digaru dan disisir hingga rata. Pada lahan sawah, tanpa dilakukan olah tanah (TOT) atau olah tanah minimum (OTM). Penanaman pada lahan TOT dilakukan langsung dengan cara dicangkul/ koak untuk tempat benih sesuai dengan jarak tanam, kemudian diberi pupuk kandang/kompos 1-2 genggam (± 50 gr) tiap cangkulan/koakan. Penanaman pada lahan OTS dilakukan dengan cara ditugal untuk membuat lubang tanam benih sesuai dengan jarak tanam, kemudian diberikan pupuk kandang/kompos 1-2 genggam (± 50 gr). Pemberian pupuk kandang pada saat tanam merupakan penutup benih.
Populasi tanaman optimal ditentukan oleh jarak tanam dan mutu benih yang digunakan. Jarak tanam yang dianjurkan adalah 70-75 x 20 cm (1 biji per lubang; 70-75 x 40 cm (2 biji per lubang); legowo: (80-100) x 40 x 20 cm (1 biji per lubang). Penggunaan jarak tanam tersebut dapat memenuhi populasi 66.000-80.000 tanaman/ha. Pemberian pupuk berbeda antarlokasi, pola tanam, jenis jagung yang digunakan hibrida atau komposit, dan pengelolaan tanaman. Rekomendasi pemupukan: Phonska 250-300 kg/ha dan urea 300-450 kg/ha.
Di samping komponen teknologi tersebut di atas, komponen teknologi lain yang perlu diperhatikan juga adalah pembuatan saluran drainase atau saluran irigasi, pembumbunan, pengendalian gulma dan organisme pengganggu tanaman, dan panen tepat waktu yaitu klobot tongkol telah mengering atau berwarna coklat, biji telah mengeras, dan terbentuk lapisan hitam (black layer) minimal 50% pada setiap baris biji.

Source:

(Mohammad Tabi’in Ma’ruf/13576)


Rabu, November 04, 2015

Sistem Pertanian Organik Terpadu

        Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering kita sebut dengan pertanian terpadu adalah memadukan antara kegiatan peternakan dan pertanian. Pola ini sangatlah menunjang dalam penyediaan pupuk kandang di lahan pertanian. Sehingga, pola ini sering disebut pola peternakan tanpa limbah karena limbah peternakan digunakan untuk pupuk, dan limbah pertanian untuk makan ternak. Integrasi hewan ternak dan tanaman dimaksudkan untuk memperoleh  hasil usaha yang optimal dan dalam rangka memperbaiki kondisi kesuburan tanah. Interaksi antara ternak dan tanaman haruslah  saling melengkapi, mendukung dan saling menguntungkan, sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi  dan meningkatkan keuntungan hasil usaha taninya.
Sistem produksi ternak sapi, misalnya yang dikombinasi dengan lahan-lahan pertanian hendaknya dapat disesuaikan dengan jenis tanaman pangan yang diusahakan. Hendaknya ternak yang kita pelihara tidak menggangu tanaman yang kita usahakan, bahkan seharusnya saling mendukung.  Dalam hal ini,  tanaman pangan sebagai komponen utamanya dan ternak menjadi komponen keduanya.
Konsep pertanian terpadu ini perlu kita galakan, mengingat sistem ini di samping menunjang pola pertanian organik yang ramah lingkungan, juga mampu meningkatkan usaha peternakan. Komoditas sapi merupakan salah satu komoditas yang penting yang harus terus ditingkatkan. Oleh karena itu upaya ini dapat digalakan pada tingkat petani baik dalam rangka penggemukan ataupun dalam perbanyakan populasi. Dengan meningkatnya populasi ternak sapi akan mampu menjamin ketersediaan pupuk kandang di lahan pertanian. Sehingga program pertanian organik dapat terlaksana dengan baik,  kesuburan tanah dapat terjaga, dan pertanian bisa berkelanjutan.
Sebenarnya integrasi ternak dan tanaman ini tidak terbatas pada budidaya tanaman padi dengan sapi saja, namun juga dapat dikembangkan integrasi dalam sistem lahan kering dan perkebunan. Semuanya tergantung dari usaha pertanian yang dikembangkan setempat, sehingga limbah pertaniannya dapat bervariasi seperti misalnya limbah jerami padi dilahan sawah dan limbah jerami jagung dilahan kering, limbah tanaman bawang merah pun dapat digunakan untuk pengembangan ternak.
Sistem tumpangsari tanaman dan ternak banyak juga dipraktekkan di daerah  perkebunan.  Tujuan sistem ini adalah untuk pemanfaatan lahan secara optimal.  Di dalam sistem tumpangsari ini tanaman perkebunan sebagai komponen utama dan tanaman rumput dan ternak yang merumput di atasnya merupakan komponen kedua.  Keuntungan-keuntungan dari sistem ini antara lain :
1.      Dari tanaman perkebunannya dapat menjamin tersedianya tanaman peneduh bagi ternak, sehingga dapat mengurangi stress karena panas.
2.      Meningkatkan kesuburan tanah melalui proses kembaliya air seni dan kotoran padatan ke dalam tanah
3.      Meningkatkan kualitas pakan   ternak, serta membatasi pertumbuhan gulma,
4.      Meningkatkan hasil tanaman perkebunan dan
5.      Meningkatkan keuntungan ekonomis termasuk hasil ternaknya.
Sebenarnya sistem pertanian terpadu ini tidak terbatas pada pengusahaan hewan besar saja seperti sapi dan kerbau, namun juga dapat dintegrasikan antara ternak unggas dengan tanaman pangan, hotikultura. Kotoran unggas cukup potensial dimanfaatkan sebagai pupuk.




Ita Nur Fatikha/13566